1.
ETIKA
DALAM AUDITING
1.1 Kepercayaan Publik
Profesi akuntan publik memiliki
peranan penting dimasyarakat, sehingga menimbulkan ketergantungan dalam hal
tanggung jawab akuntan publik terhadap kepentingan dan kepercayaan publik. Kepercayaan
masyarakat akan berkurang jika terdapat bukti bahwa independensi auditor
ternyata berkurang. Untuk menjadi independen, auditor harus secara intelektual
jujur, bebas dari setiap kewajiban terhadap kliennya dan tidak mempunyai suatu
kepentingan dengan kliennya baik manajemen perusahaan atau pemilik perusahaan.
1.2 Tanggung Jawab Auditor Kepada
Publik
Ada 3 karakteristik dan
hal-hal yang ditekankan untuk dipertanggungjawabkan oleh auditor kepada publik,
diantaranya :
1. Auditor
harus memposisikan diri untuk independen, berintegritas dan objektif.
2. Auditor
harus memiliki keahlian teknik dalam profesinya.
3. Auditor
harus melayani klien dengan profesional dan konsisten dengan tanggung jawab
mereka kepada publik.
1.3 Tanggung Jawab Dasar Auditor
The
Auditing Practice Committee, yang merupakan cikal bakal dari Auditing Practices Board ditahun 1980 memberikan
ringkasan tanggung jawab auditor, yaitu :
1. Perencanaan,
Pengendalian dan Pencatatan
Auditor perlu
merencanakan, mengendalikan dan mencatat pekerjaannya.
2. Sistem
Akuntansi
Auditor harus
mengetahui dengan pasti sistem pencatatan dan pemrosesan transaksi serta menilai
kecukupannya sebagai dasar penyusunan laporan keuangan.
3. Bukti
Audit
Auditor akan memperoleh
bukti audit yang relevan dan reliable
untuk memberikan kesimpulan rasional.
4. Pengendalian
Intern
Bila auditor berharap
untuk menempatkan kepercayaan pada pengendalian internal, hendaknya memastikan
dan mengevaluasi pengendalian itu dan melakukan compliance test.
5. Meninjau
Ulang Laporan Keuangan yang Relevan
Auditor melaksanan
tinjau ulang laporan keuangan yang relevan seperlunya, dalam hubungannya dengan
kesimpulan yang diambil berdasarkan bukti audit lain yang didapat dan untuk
memberi dasar rasional atas pendapat mengenai laporan keuangan.
1.4 Independensi Auditor
Independensi adalah
keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak
tergantung pada orang lain. (Mulyadi dan Puradireja 2002:26)
Independensi merupakan
dasar dari profesi auditing. Hal itu berarti auditor akan bersifat netral
terhadap entitas dan oleh karena itu akan bersifat objektif.
Terdapat 3 aspek
independensi seorang auditor, yaitu sebagai berikut :
1. Independence in Fact
(Independensi dalam Fakta)
Auditor harus memiliki
kejujuran yang tinggi, keterkaitan yang erat dengan objektifitas.
2. Independence in Appearance
(Independensi dalam Penampilan)
Pandangan pihak lain terhadap
diri auditor sehubungan dengan pelaksanaan audit.
3. Independence in Competence
(Independensi dari sudut Keahliannya)
Independensi dari sudut
pandang keahlian terkait erat dengan kecakapan profesional auditor.
1.5 Peraturan Pasar Modal dan Regulator
Mengenai Independensi Akuntan Publik
Undang-undang Pasar Modal
No. 8 Tahun 1995 memberikan pengertian pasar modal lebih spesifik yaitu, “Kegiatan
yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik
yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan efek”.
Pasar modal memiliki
peran yang sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Institusi yang
bertugas untuk melakukan pembinaan, pengaturan dan pengawasan sehari-hari
kegiatan pasar modal di Indonesia adalah Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM).
Bapepam mempunyai kewenangan untuk memberikan izin, persetujuan, pendaftaran
kepada para pelaku pasar modal, memproses pendaftaran dalam rangka penawaran
umum, menerbitkan peraturan pelaksanaan dari perundang-undangan di bidang pasar
modal dan melakukan penegakan hukum atas setiap pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
Ketentuan-ketentuan
yang telah dikeluarkan oleh Bapepam antara lain adalah Peraturan Nomor VIII
.A.2/Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-20/PM/2002 tentang Independensi Akuntan
yang Memberikan Jasa Audit di Pasar Modal. Ketentuan tersebut memuat hal-hal
sebagai berikut :
1. Periode
Penugasan Profesional dimulai sejak dimulainya pekerjaan lapangan atau
penandatanganan penugasan, mana yang lebih dahulu.
2. Periode
Penugasan Profesional berakhir pada saat tanggal laporan akuntan atau
pemberitahuan secara tertulis oleh akuntan atau klien kepada Bapepam bahwa
penugasan telah selesai, mana yang lebih dahulu.
2.
ETIKA
DALAM AKUNTANSI KEUANGAN DAN AKUNTANSI MANAJEMEN
2.1 Tanggung Jawab Akuntan Pajak
Tanggung jawab utama
praktisi pajak adalah sistem pajak. Suatu sistem pajak yang baik dan kuat tidak
hanya terdiri dari entitas administrasi pajak saja. Hal tersebut juga harus
terdiri dari kongres, administrasi dan komunitas praktisi. Bukan sebagai bagian
yang terpisah dari masyarakat yang luas, tetapi lebih bekerja sama ke arah
tujuan umum. Ketika secara umum menyetujui bahwa praktisi pajak mempunyai
kewajiban atas kemampuan, loyalitas dan kerahasiaan klien, hal ini disebut juga
tanggung jawab praktisi atas sistem pajak yang baik.
Tanggung jawab terakhir
adalah pentingnta pervasive (peresapan). Dalam hubungan antara praktisi dan
klien yang normal, kedua tanggung jawab dikenali dan dilaksanakan. Namun,
situasi sulit. Dalam beberapa situasi praktisi diperlukan untuk memutuskan
kewajiban yang berlaku dan dalam pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa
kewajiban atas sistem pajak yang tertinggi. Praktisi pajak membantu dalam
mengatur hukum pajak dengan jujur dan adil dalam pelayanan dan pengembangan
kepercayaan klien dalam integritas dan kepatuhan terhadap sistem pajak.
2.2 Etika Akuntan Pajak
Dalam kaitannya dengan
etika akuntan pajak, AICPA mengeluarkan Statement
on Responsibilities in Tax Practice (SRTP). Adapun isinya adalah sebagai
berikut :
SRTP (Revisi 1988)
No. 1 : Posisi
Pengembalian Pajak
No. 2 : Jawaban
Pertanyaan atas Pengembalian
No. 3 : Aspek prosedur
tertentu dalam menyiapkan Pengembalian
No. 4 : Penggunaan
Estimasi
No. 5 : Keberangkatan
dari suatu posisi yang sebelumnya disampaikan di dalam suatu kelanjutan administratif atau keputusan
pengadilan
No. 6 : Pengetahuan
Kesalahan : Persiapan Kembalian
No. 7 : Pengetahuan
Kesalahan : Cara kerja administrasi
No. 8 : Format dan isi
nasihat pada klien.
2.3 Kompleksitas Aturan Perpajakan Dan
Tuntutan Klien
Pajak secara klasik
memiliki 2 fungsi, yaitu :
1. Fungsi
Budgeter
Fungsi pajak untuk
memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara, dengan maksud untuk
mebiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
2. Fungsi
Reguleren
Fungsi pajak untuk
mengatur suatu keadaan dalam masyarakat di bidang sosial, ekonomi maupun
politik sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.
Berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 23 ayat 2 disebutkan bahwa “Segala pajak untuk keperluan
negara berdasarkan Undang-undang”. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
pajak memiliki fungsi yang luas antara lain sebagai sumber pendapatan negara
yang utama, pengatur kegiatan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat dan
sebagai sarana stabilisasi ekonomi. Kalau kita lihat APBN, pakaj selalu
dituntut untuk bertambah dan bertambah.
Pemerintah harus
memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara. Dalam struktur anggaran
negara, seperti halnya negara kita bisa mencapai 75% diperoleh dari pajak. Kondisi
inilah yang memicu pemerintah untuk membuat aturan-aturan perpajakan. Aturan perpajakan
merupakan masalah yang sebaiknya menjadi prioritas bagi pemerintah supaya tidak
terjadi tax avoidance.
Berikut ini beberapa
kasus yang mencerminkan kompleksitas aturan perpajakan vs tuntutan klien :
1. Pajak
Ganda pada Dividen
Secara teori Indonesia
menganut klasikal sistem. Artinya, ada pembedaan subjek pajak yaitu subjek
pajak badan dan perseorangan. Yang bermasalah dalam pajak dividen adalah
terjadi economic double taxation. Pengertiannya,
sebelum dividen dibagi kepada pengusaha, laba tersebut merupakan laba
perusahaan yang dikenakan pajak atau disebut pajak korporat. Namun, ketika
dibagi lagi kepada pemegang saham di korporat, pemegang saham itu harus
dikenakan pajak lagi. Inilah yang disebut sebagai pajak ganda. Sebagai perbandingan,
Malaysia dan Singapura tidak lagi menggunakan pajak atas dividen. Mereka menggunakan
kredit sistem yaitu pajak yang bisa dikreditkan kepada para pemegang saham di
korporat sehingga korporat hanya dimaknai sebagai sarana. Subjek pajak tetap
melekat pada pribadi. Tak ada lagi pajak ganda yang membebani.
2. Sengketa
Pajak
Jika terjadi dispute
(sengketa), yakni hitungan wajib pajak (WP) dengan petugas pajak berbeda. Pada UU
KUP 2000 kewenangan aparat fiscus terlalu luas. Jika terjadi sengketa SPT, maka
apapun yang akan dipakai adalah hitungan aparat pajak dan hitungan itu harus
dibayar lebih dahulu oleh WP sebesar 50% dari hitungan petugas pajak sebelum
bisa dibawa kepada pengadilan pajak. Kalau hitungan WP yang dinyatakan
pengadilan benar maka WP berhak menerima restitusi. Namun, uang restitusi itu
kenyataannya tidak segera dibayarkan oleh fiscus.
Jika uang restitusi
jumlahnya milyaran jelas saja menganggu cash
flow para pengusaha. Inilah persoalan dalam dispute antara WP dengan aparat
pajak. Untungnya, dalan UU KUP 28/2007 perhitungan SPT ditentukan secara
bersama-sama. Jika ada perbedaan klaim angka, maka yang lebih dahulu dipakai
adalah klaim WP. Sebelum masuk ke pengadilan pajak, WP cukup membayar 50% dari
klaim hitungan WP sendiri.
Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Volume 19. FE UGM 2004.
Seri
Filsafat Atmajaya : 21 - Pengantar Etika Bisnis.
Tessy
Octoviana. 2001. Pemahaman Kode Etik Akuntan. Jakarta.